Bocah lelaki seusia SD itu adalah penjual siomay bakar. Tiap hari dia menjajakan dagangannya di sekitar Desa Ngemplak Seneng, Manisrenggo, Klaten. Sesekali dia mengotak-atik kompor dan gerobak dagangannya sambil menunggu pelanggan yang akan membeli siomay bakar jajaannya.
Sama dengan penjual siomay pada umumnya, Roin membawa barang dagangannya dengan cara dipikul. Roin bukan asli warga Ngemplak Seneng. Dia adalah pendatang dari Brebes yang ikut juragan siomay bakar asal Brebes yang lebih dulu mapan di Klaten. Roin tak sendiri karena ada tujuh orang lainnya yang juga ikut sang juragan. Di Ngemplak Seneng, Roin dengan tujuh kawannya tinggal serumah dengan sang juragan, juragan Wagi namanya.
Miris. Saat kebanyakan anak seusianya tengah asyik bermain dan bersekolah, Roin justru berjibaku mengais rezeki untuk mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya. Sedari kecil, dia sudah menjadi yatim.
Roin lahir dari keluarga sederhana dari kampung Citimbang, Salem, Brebes. Dia anak ketiga dari empat bersaudara. Karena himpitan ekonomi, Roin dan kedua kakaknya tak bisa menikmati bangku sekolah. “Aku hanya sampai kelas 4 SD” ungkap Roin. Dia bercerita bahwa pekerjaan ini adalah pilihannya sendiri tidak ada yang mengajaknya berjualan siomay bakar.Awalnya karena melihat kakanya yang ikut uang juga berjualan ikut juragan Wagi, akhirnya dia ikut mengikuti jejak sang kakak. Walaupun orang tuanya tidak mengijinkan, “tapi aku sendiri yang mau kesini” (Klaten) terangnya.
Menurut dia,pendapatan yang di peroleh dari jualan simay bakar cukup lumayan, meski tidak tetap, tergantung warga yang berminat membeli. “ Kalau jualannya habis satu gerobak pendapatan kotor bisa sampai Rp 200.000,” ungkap Roin. “Ya tergantung jualannya, terkadang dikasih Rp 60.000.
Menurut dia, pendapatan yang diperoleh dari jualan siomay bakar cukup lumayan, meski tidak tetap, tergantung warga yang berminat membeli. “Kalau jualannya habis satu gerobak pendapatan kotor bisa sampai Rp 200.000,” ungkap Roin. Rp 50.000, Rp 40.000. seringnya dapat Rp 50.000,” tambahnya.
Wagi, sang juragan siomay bakar, menuturkan bahwa selama ini, dia tidak pernah mengajak orang-orang di desa asalnya untuk ikut berjualan bersamanya. Semua orang yang ikut dengannya berjualan atas kemauannya sendiri.
Wagi menuturkan bahwa anak-anak kecil di kampung halamannya di Citimbang, banyak yang putus sekolah. Kemiskinan sangat identik di kampung kelahirannya sehingga banyak anak kecil yang memutuskan untuk kerja.
“Kalau mau komentar melanggar undang-undang, toh ini atas kemauan sendiri. Saya tak pernah mengajak,” sangkalnya.
Kini ada tujuh orang yang ikut Wagi, dan dia mengakui bahwa dua di antara orang-orangnya masih di bawah umur untuk dipekerjakan.
Hasil jualan dibagi dengan sistem 30 persen untuk pegawai dan 70 persen untuk modal dan untung usaha. Dia juga menegaskan tak pernah mengharuskan para pekerjanya untuk mencapai target setoran tertentu.
Dalam memberikan upah, Wagi tak mau langsung memberikan gaji tersebut pada anak buahnya. Gaji mereka baru akan diberikan kalau mereka pas lagi butuh atau pada saat akan pulang kampung.
“Yang tak kasihkan per harian cuma ala kadarnya, karena kan anak kecil, nanti kalau tak kasihkan gaji semua, kan yang namanya anak, langsung habis nanti. Biasanya pas pulang kampung gajinya tak kasihkan, jadi setiap pegawai ada catatan gajinya,” tegas Wagi.
Wagi mengatakan bahwa semua pegawai yang ikut dengannya dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Semua urusan pegawai selama di tempat kerja berada atas pengawasannya.
“Pernah ada pegawai yang jatuh di sumur dan harus operasi habis Rp 9 juta. Itu yang nanggung saya,” terangnya.
Wagi tak menampik kalau banyak orang yang menanyakan alasannya mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Dia hanya menjelaskan bahwa inisiatif jualan tidak datang darinya, tetapi berangkat dari keinginan sang anak atau bahkan orangtuanya.
“Kalau ingin detail keadaan kondisi perekonomian anak-anak, bisa datang ke rumah. Bisa dilihat seperti apa kondisi keluarga mereka di desa. Di sana banyak anak yang putus sekolah,” tuturnya.
Dalam berjualan, Wagi juga tak pernah memaksa orang-orang yang ikut dengannya untuk tetap bekerja untuknya. Bila ada di antara mereka yang ingin pulang, mereka bakal di antar pulang. “Pernah juga ada yang tak antar pulang karena tidak betah,” ungkapnya.
Masih banyak dan terlalu banyak kisah-kisah seperti Roin di sekitar kita…
[http://regional.kompas.com/]